Desain Masa Depan
(De)sain Masa Depan
Desain suatu produk atau layanan adalah penentu yang memengaruhi ragam dan tingkatan kesejahteraan masyarakat di masa depan melalui berbagai cara. Desain berpengaruh dan beredar secara kompetitif, seolah “senjata” yang melekat pada strategi bisnis. Desain menjadi juga semacam jembatan antara perusahaan dan konsumen dalam format interaksi interpersonal seperti: pertemanan, kepercayaan, keterandalan, bahkan pengakuan.
Di sisi lain, kepekaan menangkap efektivitas sebuah desain sangat bergantung pada tingkat kecerdasan interpersonal seseorang, salah satu komponen kecerdasan yang memampukan sang penanggap mempersepsi tingkat kritikalitas suatu kebutuhan, keinginan, gelagat, dan hasrat orang lain dalam rentang waktu tertentu. Makin tak pasti dan makin penting pemenuhan suatu kebutuhan, makin kritis kebutuhan, dan makin tinggi bobot desain yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan itu.
Jadi, desain yang futuristik adalah yang mampu menjawab kebutuhan kritis: kebutuhan yang sangat penting sekaligus sangat tak pasti sebagaimana saya sentilkan melalui cerita berikut.
Bubur Telanjur Kala mengulang membaca buku “Catatan Seorang Demonstran”, yang tak lain adalah catatan harian mendiang Soe Hok Gie, adik Arief Budiman; saya teringat kejadian sekitar 26 tahun silam. Salah seorang sobat saya, yang juga pendaki gunung seperti Soe Hok Gie, meninggal secara misterius di saat mendaki gunung Sumbing, Jawa Tengah.
Seingat saya, ia berangkat mendaki gunung dalam suasana keputusasaan sejak orangtuanya menolak keras hubungan asmaranya dengan seorang bekas adik kelas SMA, yang tak melanjutkan kuliah dan bekerja mandiri sebagai penjahit pakaian seragam sekolah.
Sobat saya pergi mendaki tanpa pamit sehingga kedua orangtuanya sempat mendatangi tempat indekos saya, menanyakan keberadaannya. Empat jam setelah waktu keberangkatan pendakian, ayahnya berhasil menelepon sobat saya melalui nomor telepon pos SAR terdekat.
“Pak, Bu, saya akan pulang ke rumah setelah pendakian ini, tetapi saya akan memohon sesuatu. Saya akan pulang membawa seorang teman.”
“Kenapa tidak? Boleh… silahkan saja,” ayahnya menjawab, “Tapi, Bapak dan Ibumu mau menemui temanmu lebih dulu sambil menjemputmu seusai kau selesai pendakian.”
“Ada yang Bapak dan Ibu harus tahu tentang teman saya itu,” lanjut sobat saya.
“Apa itu, Nak? Bapak Ibumu boleh tahu?”
“Mungkin karena ketidakhati-hatiannya, ia sempat terpeleset dan terperosok jatuh ke jurang, kepalanya membentur batuan terjal, sehingga sekarang bukan saja ia kehilangan lengan tangan dan kaki kiri, tetapi juga kesadarannya. Kabar terakhir yang saya terima, setengah jam lalu ia mengigau dan mengatakan ingin tinggal bersama saya di rumah kita.”
Hampir semenit tak terdengar kata-kata di telepon, kecuali beberapa kali helaan nafas panjang dari ayahnya.
“Bapak turut sedih sekali mendengar itu. Mungkin kita dapat membantunya untuk menemukan suatu tempat tinggal.”
“Tidak, Pak, Bu, saya ingin dia tinggal bersama kita.”
“Nak,” kata ayahnya, “Kau tak tahu apa yang sedang kau minta. Seseorang dengan cacat seperti itu akan menjadi beban berat bagi kita sekeluarga. Kita punya kehidupan kita sendiri, dan kita tidak dapat membiarkan soal seperti ini mengganggu kehidupan kita. Aku rasa kau harus langsung pulang setelah acara pendakianmu dan lupakan saja temanmu itu. Dia akan menemukan jalan hidupnya sendiri.”
Serta-merta sambungan telepon terputus.
Empat hari kemudian, orangtua sobat saya menerima panggilan dari kepolisian Temanggung. Dikabarkan, anak laki-lakinya telah meninggal setelah jatuh terpeleset masuk jurang saat turun dari pendakian. Polisi mensinyalir, almarhum melakukan bunuh diri.
Dengan hati hancur, kedua orangtua sobat saya bersama saya dan puluhan teman dekat mengambil jenazah dari lokasi, selanjutnya membawanya ke rumah sakit Magelang untuk mengidentifikasi kondisi mayat yang masih terbungkus plastik warna standar SAR.
Ketika jenasah dikeluarkan dari pembungkus, kami masih dapat mengenalinya, tetapi Bapak dan Ibunya tiba-tiba berteriak histeris ketika menemukan suatu keganjilan: jasad anak laki-laki mereka memiliki hanya satu lengan dan satu kaki sebelah kanan.
Saya merasakan, betapa remuk hati kedua orangtua itu. Yang ada tinggal penyesalan. Nasi dambaan mereka telah menjadi bubur telanjur.
(A)sain Versus (De)sain Tanggapan kebanyakan orangtua atas permintaan anak sebagaimana cerita di atas bukan hanya menjadi gejala umum yang terjadi di kalangan para orangtua jaman ini, tetapi juga mencerminkan pola tanggap kita saat menghadapi perkara yang memiliki efek kritis: SANGAT PENTING tetapi sekaligus SANGAT TIDAK PASTI bagi masa depan.
Penolakan orangtua bersinggungan langsung dengan kadar vested interest dan ketidakpastian menghadapi masa depan. Kedua hal —tingginya bobot kepentingan dan ketakpastian—mengejawantah bukan dalam dalam ketersamaran (de)sain, meski dirancukan seolah sebagai kejelasan (a)sain atau tetapan.
Menurut Dino Dini, kekuatan desain terletak pada sejauh mana ia berkontribusi terhadap pengelolaan dua jenis kendala: kendala yang negotiable dan non-negotiable. Oleh sebab itu, langkah pertama proses mendesain adalah mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan memilih kendala. Mendesain kursi, misal, harus mendukung berat badan tertentu yang merupakan kendala non-negotiable namun kritis: sangat penting namun juga sangat tidak pasti. Mendesain kursi juga harus mendukung tuntutan biaya produksi, bahan baku atau kualitas estetis yang ketiganya negotiable, dalam arti bisa bersifat penting atau tak penting namun sudah jelas pasti.
Kita mudah terpaku pada kebiasaan dan kemapanan yang terkesan menyenangkan di masa kini namun sebenarnya bersifat negotiable, sebaliknya menolak fluktuasi dan ketidaknyamanan karena ketiadaan jaminan masa depan yang justru non-negotiable. Kita berusaha menjauhkan diri dari orang-orang sakit, berpenampilan tak menarik, atau berstatus sosial-ekonomi rendah, semata karena argumentasi bahwa mereka tak produktif dan akan hanya menjadi parasit yang mengancam kehidupan kita.
Padahal, jika kondisi-kondisi tersebut ada dalam diri kita, kita berharap agar orang lain tak memperlakukan diri kita sebagai si sakit, si buruk, atau si miskin. Kita berharap seseorang mau mengasihi kita dengan kasih yang tak bersyarat dan menyambut kita ke dalam keluarga mereka selamanya, tanpa memperhatikan bagaimana kita berterima kasih.
Pemikiran bahwa yang nyaman dan mengenakkan adalah untuk “diri sendiri” sementara kondisi yang sebaliknya untuk “diri lain” merupakan sebuah konklusi logik yang pada dirinya mengandung contradictio in termine tentang hakekat diri. Di sana tak terjadi konsistensi pemikiran tentang “diri”. Inkonsistensi pemikiran ini juga mengandung kesalahan mengidentifikasikan mana kendala yang negotiable dan non-negotiable.
Benar bahwa masa depan kita ditentukan oleh desain yang kita putuskan di bursa pasaran ide. Namun faktor yang lebih menentukan bagi masa depan kita adalah cara kita mendesain: mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan memilih kendala yang sangat penting namun sangat tidak pasti bagi masa depan.
~ Edy Suhardono, Executive Director pada IISA Assessment, Consultancy & Research Centre.
Desain suatu produk atau layanan adalah penentu yang memengaruhi ragam dan tingkatan kesejahteraan masyarakat di masa depan melalui berbagai cara. Desain berpengaruh dan beredar secara kompetitif, seolah “senjata” yang melekat pada strategi bisnis. Desain menjadi juga semacam jembatan antara perusahaan dan konsumen dalam format interaksi interpersonal seperti: pertemanan, kepercayaan, keterandalan, bahkan pengakuan.
Di sisi lain, kepekaan menangkap efektivitas sebuah desain sangat bergantung pada tingkat kecerdasan interpersonal seseorang, salah satu komponen kecerdasan yang memampukan sang penanggap mempersepsi tingkat kritikalitas suatu kebutuhan, keinginan, gelagat, dan hasrat orang lain dalam rentang waktu tertentu. Makin tak pasti dan makin penting pemenuhan suatu kebutuhan, makin kritis kebutuhan, dan makin tinggi bobot desain yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan itu.
Jadi, desain yang futuristik adalah yang mampu menjawab kebutuhan kritis: kebutuhan yang sangat penting sekaligus sangat tak pasti sebagaimana saya sentilkan melalui cerita berikut.
Bubur Telanjur Kala mengulang membaca buku “Catatan Seorang Demonstran”, yang tak lain adalah catatan harian mendiang Soe Hok Gie, adik Arief Budiman; saya teringat kejadian sekitar 26 tahun silam. Salah seorang sobat saya, yang juga pendaki gunung seperti Soe Hok Gie, meninggal secara misterius di saat mendaki gunung Sumbing, Jawa Tengah.
Seingat saya, ia berangkat mendaki gunung dalam suasana keputusasaan sejak orangtuanya menolak keras hubungan asmaranya dengan seorang bekas adik kelas SMA, yang tak melanjutkan kuliah dan bekerja mandiri sebagai penjahit pakaian seragam sekolah.
Sobat saya pergi mendaki tanpa pamit sehingga kedua orangtuanya sempat mendatangi tempat indekos saya, menanyakan keberadaannya. Empat jam setelah waktu keberangkatan pendakian, ayahnya berhasil menelepon sobat saya melalui nomor telepon pos SAR terdekat.
“Pak, Bu, saya akan pulang ke rumah setelah pendakian ini, tetapi saya akan memohon sesuatu. Saya akan pulang membawa seorang teman.”
“Kenapa tidak? Boleh… silahkan saja,” ayahnya menjawab, “Tapi, Bapak dan Ibumu mau menemui temanmu lebih dulu sambil menjemputmu seusai kau selesai pendakian.”
“Ada yang Bapak dan Ibu harus tahu tentang teman saya itu,” lanjut sobat saya.
“Apa itu, Nak? Bapak Ibumu boleh tahu?”
“Mungkin karena ketidakhati-hatiannya, ia sempat terpeleset dan terperosok jatuh ke jurang, kepalanya membentur batuan terjal, sehingga sekarang bukan saja ia kehilangan lengan tangan dan kaki kiri, tetapi juga kesadarannya. Kabar terakhir yang saya terima, setengah jam lalu ia mengigau dan mengatakan ingin tinggal bersama saya di rumah kita.”
Hampir semenit tak terdengar kata-kata di telepon, kecuali beberapa kali helaan nafas panjang dari ayahnya.
“Bapak turut sedih sekali mendengar itu. Mungkin kita dapat membantunya untuk menemukan suatu tempat tinggal.”
“Tidak, Pak, Bu, saya ingin dia tinggal bersama kita.”
“Nak,” kata ayahnya, “Kau tak tahu apa yang sedang kau minta. Seseorang dengan cacat seperti itu akan menjadi beban berat bagi kita sekeluarga. Kita punya kehidupan kita sendiri, dan kita tidak dapat membiarkan soal seperti ini mengganggu kehidupan kita. Aku rasa kau harus langsung pulang setelah acara pendakianmu dan lupakan saja temanmu itu. Dia akan menemukan jalan hidupnya sendiri.”
Serta-merta sambungan telepon terputus.
Empat hari kemudian, orangtua sobat saya menerima panggilan dari kepolisian Temanggung. Dikabarkan, anak laki-lakinya telah meninggal setelah jatuh terpeleset masuk jurang saat turun dari pendakian. Polisi mensinyalir, almarhum melakukan bunuh diri.
Dengan hati hancur, kedua orangtua sobat saya bersama saya dan puluhan teman dekat mengambil jenazah dari lokasi, selanjutnya membawanya ke rumah sakit Magelang untuk mengidentifikasi kondisi mayat yang masih terbungkus plastik warna standar SAR.
Ketika jenasah dikeluarkan dari pembungkus, kami masih dapat mengenalinya, tetapi Bapak dan Ibunya tiba-tiba berteriak histeris ketika menemukan suatu keganjilan: jasad anak laki-laki mereka memiliki hanya satu lengan dan satu kaki sebelah kanan.
Saya merasakan, betapa remuk hati kedua orangtua itu. Yang ada tinggal penyesalan. Nasi dambaan mereka telah menjadi bubur telanjur.
(A)sain Versus (De)sain Tanggapan kebanyakan orangtua atas permintaan anak sebagaimana cerita di atas bukan hanya menjadi gejala umum yang terjadi di kalangan para orangtua jaman ini, tetapi juga mencerminkan pola tanggap kita saat menghadapi perkara yang memiliki efek kritis: SANGAT PENTING tetapi sekaligus SANGAT TIDAK PASTI bagi masa depan.
Penolakan orangtua bersinggungan langsung dengan kadar vested interest dan ketidakpastian menghadapi masa depan. Kedua hal —tingginya bobot kepentingan dan ketakpastian—mengejawantah bukan dalam dalam ketersamaran (de)sain, meski dirancukan seolah sebagai kejelasan (a)sain atau tetapan.
Menurut Dino Dini, kekuatan desain terletak pada sejauh mana ia berkontribusi terhadap pengelolaan dua jenis kendala: kendala yang negotiable dan non-negotiable. Oleh sebab itu, langkah pertama proses mendesain adalah mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan memilih kendala. Mendesain kursi, misal, harus mendukung berat badan tertentu yang merupakan kendala non-negotiable namun kritis: sangat penting namun juga sangat tidak pasti. Mendesain kursi juga harus mendukung tuntutan biaya produksi, bahan baku atau kualitas estetis yang ketiganya negotiable, dalam arti bisa bersifat penting atau tak penting namun sudah jelas pasti.
Kita mudah terpaku pada kebiasaan dan kemapanan yang terkesan menyenangkan di masa kini namun sebenarnya bersifat negotiable, sebaliknya menolak fluktuasi dan ketidaknyamanan karena ketiadaan jaminan masa depan yang justru non-negotiable. Kita berusaha menjauhkan diri dari orang-orang sakit, berpenampilan tak menarik, atau berstatus sosial-ekonomi rendah, semata karena argumentasi bahwa mereka tak produktif dan akan hanya menjadi parasit yang mengancam kehidupan kita.
Padahal, jika kondisi-kondisi tersebut ada dalam diri kita, kita berharap agar orang lain tak memperlakukan diri kita sebagai si sakit, si buruk, atau si miskin. Kita berharap seseorang mau mengasihi kita dengan kasih yang tak bersyarat dan menyambut kita ke dalam keluarga mereka selamanya, tanpa memperhatikan bagaimana kita berterima kasih.
Pemikiran bahwa yang nyaman dan mengenakkan adalah untuk “diri sendiri” sementara kondisi yang sebaliknya untuk “diri lain” merupakan sebuah konklusi logik yang pada dirinya mengandung contradictio in termine tentang hakekat diri. Di sana tak terjadi konsistensi pemikiran tentang “diri”. Inkonsistensi pemikiran ini juga mengandung kesalahan mengidentifikasikan mana kendala yang negotiable dan non-negotiable.
Benar bahwa masa depan kita ditentukan oleh desain yang kita putuskan di bursa pasaran ide. Namun faktor yang lebih menentukan bagi masa depan kita adalah cara kita mendesain: mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan memilih kendala yang sangat penting namun sangat tidak pasti bagi masa depan.
~ Edy Suhardono, Executive Director pada IISA Assessment, Consultancy & Research Centre.
Komentar